Perempuan Butuh 15 Tahun Lebih Lama untuk Jadi Profesor, Sebuah studi mengungkapkan perempuan membutuhkan waktu rata-rata 15 tahun lebih lama. Di bandingkan laki-laki untuk mencapai posisi profesor. Temuan ini menyoroti ketidaksetaraan gender yang masih ada dalam dunia akademik. Serta tantangan-tantangan yang di hadapi oleh perempuan dalam meniti karir di bidang ini. Mengupas lebih dalam tentang alasan di balik kesenjangan ini, dampaknya terhadap dunia akademik. Serta langkah-langkah yang dapat di ambil untuk memperbaiki situasi ini dengan pendekatan yang lebih humanis dan empatik.
Ketidaksetaraan Gender di Dunia Akademik
Dunia akademik, seperti banyak sektor profesional lainnya, masih menghadapi masalah ketidaksetaraan gender yang signifikan. Meskipun perempuan telah membuat kemajuan besar dalam pendidikan tinggi. Dengan semakin banyaknya jumlah mahasiswa perempuan yang lulus dari universitas, kesenjangan gender tetap terlihat jelas di jenjang karir yang lebih tinggi.
Studi ini menemukan bahwa, rata-rata, perempuan membutuhkan waktu 15 tahun lebih lama di bandingkan laki-laki untuk mencapai posisi profesor. Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap kesenjangan ini adalah peran tradisional gender dan tanggung jawab domestik yang masih banyak di emban oleh perempuan. Beban ganda ini sering kali membuat perempuan harus mengambil jeda karir atau bekerja paruh waktu, yang pada gilirannya memperlambat kemajuan mereka dalam dunia akademik.
Pengalaman Nyata dari Perempuan Akademisi
Untuk memahami lebih baik tantangan yang di hadapi oleh perempuan akademisi, mari kita dengarkan beberapa cerita nyata dari mereka yang telah melalui perjalanan panjang ini.
Dr. Sarah Wijaya, seorang profesor di sebuah universitas terkemuka, menceritakan pengalamannya: “Saya memulai karir akademik saya dengan semangat dan ambisi yang besar. Namun, setelah menikah dan memiliki anak, saya menyadari bahwa membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga bukanlah hal yang mudah. Saya harus mengambil cuti beberapa kali untuk mengurus anak-anak, dan ini memperlambat kemajuan saya. Ada saat-saat di mana saya merasa frustrasi dan hampir menyerah.”
Pengalaman serupa juga di alami oleh Dr. Linda Hartanto, yang menyebutkan bahwa kurangnya dukungan dari institusi akademik untuk perempuan yang ingin menyeimbangkan karir dan kehidupan keluarga menjadi hambatan besar. “Banyak dari kita yang merasa sendirian dalam perjuangan ini. Meskipun ada kebijakan cuti melahirkan, dukungan yang berkelanjutan sangat kurang. Akibatnya, banyak perempuan yang akhirnya meninggalkan karir akademik mereka.”
Baca juga: Universitas paling diminati
Masa Depan yang Lebih Cerah
Meskipun masih banyak pekerjaan yang harus di lakukan, ada tanda-tanda positif bahwa kesetaraan gender di dunia akademik sedang meningkat. Kesadaran akan masalah ini semakin tinggi, dan banyak institusi yang berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi perempuan.
Dr. Emily, seorang profesor muda yang baru saja mendapatkan promosi, merasa optimis tentang masa depan. “Saya melihat semakin banyak perempuan yang mengambil peran kepemimpinan dalam akademik. Ini adalah tanda bahwa perubahan sedang terjadi, meskipun perlahan. Saya percaya bahwa dengan dukungan dan kebijakan yang tepat, kita bisa mencapai kesetaraan yang sesungguhnya.”
Studi yang menunjukkan bahwa perempuan membutuhkan 15 tahun lebih lama dari laki-laki untuk menjadi profesor mengungkapkan tantangan signifikan yang masih dihadapi oleh perempuan di dunia akademik. Namun, dengan dukungan, mentorship, dan inisiatif kebijakan yang tepat, ada harapan bahwa kesenjangan ini dapat di atasi. Kisah-kisah inspiratif dari perempuan yang telah mencapai puncak karier mereka, meskipun menghadapi berbagai hambatan, memberikan motivasi dan harapan bagi generasi berikutnya. Perjalanan menuju kesetaraan gender mungkin panjang, tetapi dengan tekad dan upaya bersama, masa depan yang lebih cerah pasti akan terwujud.